Jumat yang Biasa Saja

Ravinska Minerva Azura
2 min readAug 19, 2022

Pagi ini lagu yang terputar di ponselku itu Musetta’s Waltz. Sebagai seorang yang bukan connoisseur musik, aku tidak akan memberikan detail tentang aransemen bahkan kisah tragis dan menarik soal musisinya. Aku juga tidak tahu dia siapa, tidak tertarik juga. Tapi enak didengar.

Dulu aku kira menulis itu paling baik ketika aku merasa sedih sesedih-sedihnya. Nyatanya banyak juga tulisanku yang bisa dipancing dari nelangsa berkepanjangan. Liat saja mayoritas isi medium ini, tidak lain hasil dari sesenggukan di malam hari. Payah, tapi lebih baik jujur pada realita. Kepiluanku ini kalau dianalogikan mirip kucing di Sangkuriang yang kaki kirinya luka, dagingnya terkelupas, hasilkan nanah yang mengeras bersama bulu-bulunya yang tak lagi layak disentuh. Tapi tetap saja, toh ada juga orang yang masih mau berikan ia makanan basah, sirami alkohol, bahkan perbani kaki kecilnya itu. Manusia memang lebih baik kepada binatang daripada dirinya dan kaumnya sendiri.

Salah satu puisi terbaikku dihilangkan juniorku. Setiap dikontak untuk minta dicarikan, ia selalu banyak beralasan atau bahkan tidak menggubris. Sialnya soft copy yang ada padaku ikut hilang bersama rusaknya layar ponselku. Karena buntu, beberapa kali aku bilang tolong dicek lagi. Lucunya setiap menyinggung soal puisiku, dia selalu mendiamkan aku. Nanti alasannya dia jarang buka ponsel. Klasik. Aku bingung dengan orang-orang seperti itu. Mungkin dia trauma sama apa yang ada di dalam puisinya. Tidak paham juga.

Selain puisi dan cerita-cerita sedih, beberapa bulan lalu aku baru dapatkan sebuah wahyu. Aku baru sadar ternyata yang bisa buatku menulis itu bukan rasa sedih. Soalnya ketika senang juga aku bisa menulis. Bahkan ketika aku biasa saja. Ternyata yang jadi katalis buatku menulis itu rasa rentan.

“Dapat dengan mudah disakiti, dipengaruhi, atau diserang secara fisik atau mental”

Tidak melulu soal yang negatif sih walau definisi rentan mengarahkan seperti itu. Maksudku waktu menulis paling baik buatku ketika sedang mudah dipengaruhi oleh segudang perasaan. Ia bisa berdiri sendiri, atau merupa gabungan. Bahagia, sedih, tenang, takut. Apapun itu tetapi mendalam.

Kira-kira seperti grafik di atas skemanya. Cuma aku memang bodoh soal matematika. Jadi tidak perlu disinggung.

--

--

Ravinska Minerva Azura

kemelut isinya gurauan yang tidak lucu. ia bekerja sebagai salah satu bentuk mekanisme pertahananku. kurang penting